PEMBUKTIAN DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA


A. PENGERTIAN PEMBUKTIAN
Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya faktayang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.

Fakta tersebut terdiri dari fakta hukum dan fakta biasa. Fakta hukum yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang keberadaannya tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan fakta biasa yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum tersebut.
Selain itu, terdapat fakta yang juga dapat menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya yang tidak perlu dibuktikan, yaitu:
• Hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi,
• Fakta-fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan,
• Eksistensi hukum.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pembuktian merupakan tata cara untuk menetapkan terbuktinya suatu fakta dalam suatu perkara Tata Usaha Negara untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.

B. AJARAN PEMBUKTIAN
Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa ajaran pembuktian yang digunakan dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah ajaran pembuktian bebas. “. . . hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan, antara lain:

a. Pada Peradilan Tata Usaha Negara, hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas;
b. Suatu gugatan Tata Usaha pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan”.

Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada hakim.
Berdasarkan ajaran pembuktian bebas, maka Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri:

a. Apa yang harus dibuktikan
Dalam hal ini hakim dapat mengesampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat, demikian pula hakim dapat memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut memiliki arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim.
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri
Dalam hal ini, penggugat dan tergugat adalah para pihak yang dibebani pembuktian. Beban pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya.
c. Alat bukti mana saja yang diutamakan dalam pembuktian
Dalam hal ini alat-alat bukti diatur oleh undang-undang. Hakim mempunyai wewenang untuk memilih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang dan memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti tersebut.
d. Kekuatan pembuktian alat bukti yang telah diajukan
Hakim mempunyai wewenang untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara dengan memperhatikan pembatasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 107 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986.

C. ALAT BUKTI
Ketentuan-ketentuan tentang alat bukti dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara sedikit sekali jika dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Perdata. Hal ini terjadi karena Hukum Acara Tata Usaha Negara mengikuti ajaran pembuktian bebas sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Sehingga dalam undang-undang tidak terdapat ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti, tidak seperti di dalam Hukum Acara Perdata.

Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 menentukan alat-alat bukti sebagai berikut:
a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan ahli;
c. Keterangan saksi;
d. Pengakuan para pihak;
e. Pengetahuan Hakim.

Dengan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa alat bukti yang digunakan bersifat terbatas, karena telah ditentukan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Oleh karena itu, untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Sehingga Indroharto menyebutkan bahwa ajaran pembuktian yang diikuti merupakan ajaran pembuktian bebas terbatas, bukan ajaran pembuktian bebas.

Berikut dijelaskan masing-masing alat bukti:

1. Macam-macam alat bukti surat atau tulisan
• Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu:
*Akta, adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
*Bukan akta

• Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu :
*Akta otentik
*Akta dibawah tangan

• Sedangkan menurut UU No.5 / 1986 pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis, yaitu :

a) Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

b) Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

c) Surat-surat lain yang bukan akta.

• Akta otentik ada dua macam, yaitu :
*Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten)
*Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)

2. Keterangan ahli
Di dalam UU No.5/1986 pasal 102 ayat (1), dijelaskan bahwa:keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya” .

Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal 103 Undang-Undang PTUN).

Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli di bidang komputer, ahli balistik dan lain-lain. Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi (pasal 88 Undang-Undang PTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.

3. Keterangan saksi
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.

Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan didengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88 Undang-Undang PTUN sebagai berikut :

1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa
2. Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai
3. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
4. Orang sakit ingatan.

Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 89 Undang-Undang PTUN), yaitu :

a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak.
b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.

Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim dapat menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakan tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu (pasal 91 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986).

Dan apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa. Sebelum melaksanakan tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepecayaannya (pasal 92 ayat (1) dan 92 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986).

Sedangkan apabila yang di panggil sebagai saksi adalah pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia wajib datang sendiri di persidangan (pasal 93 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986).

Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. Perbedaan itu diantaranya, adalah :

Keterangan saksi
1. Seorang (beberapa) saksi di panggil ke muka pengadilan untuk mengemukakan keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, di dengar, atau dialami sendiri
2. Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis
3. Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama melihat, mendengar dan menyaksikan peritiwa itu

Keterangan ahli
1. Seorang (beberapa) saksi ahli dipanggil ke muka pengadilan untuk mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa
2. Keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis
3. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai dengan keahliannya.

4. Pengakuan para pihak
“Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan”.

Menurut pasal 105 UU No.5/1986, “pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim”.
Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar.
Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang diberikan di luar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya.

5. Pengetahuan hakim
Berdasarkan pasal 106 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, “pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya”.

Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya : sikap, perilaku, emosional dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Prof. Dr. R. Supomo mengemukakan bahwa persangkaan sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Namun, menurut pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 untuk sahnya pembuktian dengan persangkaan masih harus didukung oleh satu alat bukti lagi. Sehingga terdapat minimal 2 alat bukti yang terdiri dari persangkaan hakim, dan alat bukti lain.

Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara. Menurut pasal 100 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 pengetahuan hakim ataupun keadaan lain yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.


0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger

أَهْلًا وَ سَهْلًا

Ingatlah Dari Mana Kamu Berasal, Di Mana Pun Dan Kapan Pun Identitasmu Adalah Santri

Mengenai Saya

Foto saya
saya ini bisa dibilang sebagai santri, karena memang pernah nyantri di kota Bogor nan sejuk (tapi sekarang malah panas,he he). Maklumlah santri kan diidentikkan sebagai sekelompok yang gaptek n jadul banget. Tapi saking gaptek'y sekarang malah jadi keblinger. Keblinger dlm artian positif loh. Teknologi bkn sebagai candu ttp teknologi sebagai kawan dan sahabat.